PENGANTAR BUKU FIKIH KESEHATAN KONTEMPORER

Dengan nama Allah,

Menyimak perdebatan di dunia maya, termasuk di dunia nyata.

Saya berulang kali mengelus dada. Ada setumpuk rasa prihatin di sana.

Ya, berulang kali, dalam forum yang beraneka ragam. Dari blog, facebook, twitter. Dari dialog suffah masjid hingga seminar-seminar di gedung mentereng.

Satu sisi, tentang keagungan thibbun nubuwwah, sang pembela menukilkan hadits tentang utamanya hijamah, madu dan habbatussaudah. Sembari mencibir vaksinasi, obat-obatan yang mengandung kimia.

Dari sudut yang lain, para tenaga medis yang tak hapal hadis.

Mereka merasa terpojokkan. Seakan ilmu yang mereka reguk selama ini tak ada faedahnya.

Ya sudahlah, pikir mereka. Sembari pada akhirnya ikut membuat garis. Garis yang entah siapa yang terlebih dahulu melukiskannya. Membuat ilmu kedokteran latah mengikuti ilmu yang lain, mencoba mensekulerkan diri. Baiklah, bila memang agama tidak memberi ruang kepada kami…. Talak satu kedokteran modern dengan agama…

Glek, saya khawatir kalimat itu yang pada akhirnya menutup perdebatan panjang.

Memori saya lalu ditepuk oleh sederet imajinasi tempo dahulu, tentang Ibnu Sina yang konon juga hafal quran dan dikenang di seluruh dunia sebagai peletak pondasi kedokteran modern, penulis Qanun fi athThibb yang mungkin bisa kita sejajarkan dengan kamus kedokteran Dorland masa kini, Fisiologi Guyton and Hall, Harrison Penyakit Dalam, Nelson anak, atau ‘kitab suci’ masa kini lain yang karib di genggaman para mahasiswa dan praktisi dunia kedokteran. Tentang Abul Qasim AlZahrawi, jagoannya ilmu bedah. Tentang anNafis yang menemukan konsep sirkulasi darah jauh sebelum William Harvey mengklaimnya. Belum lagi deret-deret nama di belakang mereka yang tak kalah harum.

Seakan film dokumenter, memori saya kemudian melompat kepada keharmonisan dunia medis dalam naungan khilafah kala lampau. Tentang kebijakannya yang berlandaskan syariah, tentang rumah sakitnya yang mengapresiasi ibadah, tentang berbagai kegemilangan prestasi yang mengundang decak wah.

Kangen juga dengan cerita ustadz-ustadz saya di awal-awal halaqah, tentang gratisnya berobat di masa khalifah, tentang perhatian para pengampu untuk kesehatan warganya, lalu para ulama yang merangkap ahli di bidang medis. Terulang kembali seperti itu….? Kapankah?

Terbangun dari ruang mimpi. Mata saya mendelik. Di ruang saya kini, ada pe-er banyak. Di luar sana, banyak para orang medis yang menganggap seakan dunia mereka hadir sebagai anak tiri dari syariah. Mereka fasih berbicara ragam jurnal berbahasa inggris, evidence base tentang terapi yang mereka berikan. Tetapi mereka terlupa, ada dalil wajib – mandub – mubah – makruh – haram, ada sah – batal – fasad – rukhsah. Yang itu justru harusnya jauh lebih dikedepankan.

Wajar, bisa jadi karena pengetahuan yang minimal, mungkin juga akibat luka kronis akibat konfrontasi yang lama. Maka muncul front yang baru, ahli herbal dengan label thibbun nubuwwah. Didukung dengan dalil, dan klaim kemanjuran yang sama. Ujug-ujug seakan bersaing merebut hati para orang sakit. Awam pun terbingungkan dengan istilah kedokteran islam dan kedokteran modern barat.

Perih saya berlanjut, kala melihat fenomena yang terjadi kemudian. Melihat dunia kesehatan yang diguritai kapitalisme. Di media massa ramai terdengar pasien yang terlantar, harga obat yang mahal, kebijakan asuransi kesehatan besutan pemerintah yang urung mengobati tapi sebaliknya malah menciderai.

Saya tilik selintas ke google (ya, untuk jenis orang awam seperti saya, itulah yang bisa saya lakukan sebagai langkah awal). Sudahkah ada solusi yang terbit dari para alim dan cendikia? Hasilnya, yang ada justru lagi-lagi tentang kontroversi. Sedikit saya temukan yang mencerahkan. Mencerahkan, bukan sekedar menyenangkan salah satu kubu. Memakai dalil, tapi juga evidence base tak terlupakan. Komprehensif, berbicara kesehatan bukan hanya sebuah bidang sisi sepihak yang cerai dengan bidang lain, seperti ekonomi sosial, dan politik.

……………

Kegundahan akhirnya saya sampaikan dengan ustadz saya.

“Kin, kenapa tidak antum saja?”. Dahi saya mengernyit mendengar jawaban itu.

“Ya, solusi itu justru harusnya muncul dari keresahan. Dan keresahan yang dapat membuahkan solusi cemerlang hanya akan muncul dari kaum yang paham. Antum memenuhi kriteria itu…”

Saya lalu menghitung-hitung yang saya punya. Keresahan ditambah bekal ilmu kedokteran….

“Tapi untuk fiqihnya?” sergah saya buru-buru. Saya khawatir akan asal dalam memilih dalil.

Sang ustadz tersenyum.

“Insya Allah akan dibantu para ustadz yang mumpuni” tutur beliau melegakan.

***

Hingga pada akhirnya, saya azzamkan untuk menuliskan buku sederhana ini. Ditemani para asatidz. Ustadz Habib Rasyid, Ustadz Taufiq NT, Ustadz Shiddiq alJawi (yang terakhir masih dalam konfirmasi). Saya membatasi memilih tema-tema di kisaran fiqih kontemporer kesehatan –dimana sedikit sekali yang membahasnya, bukan tema-tema yang kontroversi. Bukan pula mengulik hikmah kesehatan di balik ibadah umat islam, atau kemujaraban thibbun nubuwwah. Karena untuk ruang itu sudah banyak para cendikia yang mengulasnya. Justru untuk berbagai masalah kontemporer semisal otopsi, fertilisasi in vitro, bedah plastik, vaksinasi dan lainnya yang terbilang baru umat perlu mengenal dan memahaminya. Termasuk agar tenaga medis tahu batasan fiqih di bidang yang digelutinya. Agar pengampu kebijakan juga faham bahwa dalam meri’ayah di bidang kesehatan ada aturan Allah yang mesti dipegang. Agar pada akhirnya kesehatan dapat kembali terintegrasi dengan syariah.

Haturan hormat kepada orangtua saya, H Jurjani dan Hj Norliyani, serta segenap keluarga di Banjarmasin. Kecup sayang kepada istri yang mendampingi, dr. Maria Ulfah beserta janin yang ada di rahimnya. Terima kasih pula kepada guru-guru kehidupan saya, utamanya Ust Taufiq NT di Martapura, Ust Habib Rasyid di Semarang, dan Ust Shiddiq AlJawi di Yogyakarta yang berkenan membantu penulisan buku ini.

Terakhir, saya memohon ampun kepada Allah atas segala kelemahan dan kekhilafan yang saya lakukan dalam penulisan buku ini. Semoga Allah menjaga niat kami, dan melapangkan dada kami.

Hasbunallahu wa ni’mal Wakiil

Fauzan Muttaqien

One thought on “PENGANTAR BUKU FIKIH KESEHATAN KONTEMPORER

  1. febri says:

    assalamualaikum, bisa minta alamat e.mailnya? ada yg mau saya tannyakan masalah kepenulisan. jzkillah

Leave a comment